Nama : Nico Purmalingga
NPM : 18111213
Kelas : 3KA25
TEORI BUDAYA
David Kaplan dan Robert A. Manners, 2002, The Theory of
Culture, diterjemahkan oleh Landung Simatupang, Teori Budaya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, xxi
+ 294 hlm. ISBN 979-09675-71-8.
Ringkasan Buku:
Antropologi: Metode dan
Pokok Soal dalam Penyusunan Teori, David Kapplan memberikan ringkasan kepada
kita bahwa ada dua hal pokok masalah antropologi, yaitu bagaimanakah bekerjanya
berbagai sistem budaya yang berbeda-beda? Bagaimanakah maka
sistem-sistem budaya yang beraneka ragam itu menjadi seperti keadaannya kini?
Jadi, permasalahan utamanya adalah menjelaskan kesamaan dan perbedaan budaya,
pemeliharaan budaya maupun perubahannya dari masa ke masa. Untuk melihat
persamaan budaya, maka menggunakan kacamata psikobiologis, yaitu kesamaan
bentuk dan pola budaya yang cenderung bertitik temu adalah pertumbuhan,
perubahan atau perkembangan. Namun, jika melihat perbedaan budaya digunakanlah
“infra-spesifik”, yaitu dengan mempelajari mekanisme, struktur, serta
sarana-sarana di luar manusia (alat yang digunakan manusia untuk
mentransformasikan dirinya sehingga dapat diketahui perbedaan keyakinan,
perilaku, nilai, dan bentuk sosial antara kelompok). Hal inilah yang oleh
antropolog disebut budaya. Menurut David Kapplan dan Manners, budaya adalah
suatu golongan fenomen yang diberi muatan makna tertentu oleh antropolog dalam
rangka menghadapi soal-soal yang mereka coba untuk memecahkannya. Dua
alasan bagi antropolog untuk mempertahankan konsep budaya itu dan menjaganya
agar tetap dibedakan dari struktur sosial, yaitu (a) organisasi sosial tidaklah
merupakan sesuatu yang unik pada manusia, karena sistem sosial manusia adalah
sistem sosiokultural yang sejati; dan (b) antropolog telah mempermasalahkan
interaksi antara subsistem-subsistem atau institusi-institusi seperti struktur
sosial, ideologi dan teknoekonomi sehingga budaya adalah nama yang tepat untuk
menyebut sistem yang lebih besar dan induk dari subsistem. Ada dua reaksi para
antropolog dalam menyikapi keragaman pengaturan budaya, yaitu (a) perbedaan
budaya dipandang sebagai sesuatu yang ada begitu saja untuk dicatat atau
sebagai variasi-variasi dalam suatu tema besar yang bernama relativisme
budaya; (b) dipersoalkan sehingga menuntut adanya teori.
Relativisme dan komparatif adalah
dua hal yang berbeda. Relativisme cederung disebut sebagai tesis ideologisnya,
sedangkan komparatif disebut sebagai tesis metodelogis. Budaya dalam pandangan
kaum relativis adalah sebagai kebulatan tunggal dan hanya sebagai dirinya
sendiri, sedangkan pandangan kaum komparativ adalah sebagai suatu
institusi, proses, kompleks atau ihwal, harus dibedakan dari matriks budaya
yang lebih besar dengan cara tertentu sehingga dapat diperbandingkannya. Maka,
yang benar dari pandangan ini adalah kaum komparatif karena tidak ada dua
kebulatan sosiokultural yang benar-benar sama sehingga harus dipisahkan.
Perbedaan lain, para relativis tercengkram oleh soal perbedaan, sedangkan para
komparatif memperhatikan persamaan maupun perbedaan. Bagi relativ, setiap
budaya adalah unik; sedangkan bagi komparatif tidak ada keunikan karena
tertutup oleh kesamaan antarbudaya. Relativisme dipandang sebagai dasar
metodelogis karena berguna sebagai peringatan dalam mempelajari budaya yang
berbeda-beda sehingga agar tidak terpengaruh oleh prakonsepsi kebudayaan
sendiri. Maka, komparativ ini hal penting dalam pembentukan teori karena dengan
perbandingan ini diperlukan upaya penyeleksian. Maka Leach mengatakan jantung
segala persoalan adalah teori.
Tipe struktural adalah
suatu klasifikasi fenomen yang dikaji menurut cirinya yang penting dan
menentukannya, ketika mendefinisikannya. Dua hal penting dalam struktural
adalah bangunan yang mengandung teori, dan tipe stuktrural yang bervariasi.
Masalah dalam pendefinisian teori adalah generalisasi, sedangkan generalisasi
itu bemacam-macam jenisnya. Yang di maksud teori dalam antropologi disebut
kuasi-toeri aatu teori semu (quasitheory). Ilmu terdiri dari penyataan empirik
tentang fakta yang didapat dari pengamatan, obeservasi; dan pernyataan teoritik
yang dipandang spekulatif serta dapat berubah dan berbeda seiring dengan
pergerseran pendapat. Masalah-masalah khusus dalam pembentukan teori
antropologi adalah masalah perbedaan konsepsi metodelogis dalam antropologi.
Objektivitas pelaporan antropologis diupayakan dan ditingkatkan secara
kumulatif dari masa ke masa sehingga mengurangi bias dan mengakui adanya
standar nonpersonal. Dalam upaya pembentukan teori, salah satu hal terpenting
adalah verstehen atau pemahaman dalam menjelaskan. Ada empat hal
yang penting dalam verstehen: historisitas/ kesejarahan, sistem yang
terbuka, isu-isu sosial dan ideologi.
Orientasi Teoritik yang
akan dikaji empat pendekatan, yaitu evolusionisme, fungsionalisme, sejarah dan
ekologi budaya. Keempat tersebut disebut orientasi teoritik karena keempat
tersebut lebih dari sekedar metodelogi formal, tetapi belum merupakan teori
yang utuh dan lengkap. Evolusionis pada abad kesembilan belas
merupakan peletek dasar suatu disiplin yang tertata yang menghasilkan tiga
pemikiran dasar dalam antropologi, yaitu diktum bahwa fenomena kebudayaan harus
dikaji dengan cara naturalistik; premis tentang “kesatuan psikis umat manusia”,
yakni perbedaan kultural antara dua kelompok tidak disebabkan oleh perbedaan
kelengkapan psikobiologis, tetapi perbedaan sosial-budaya; dan penggunaan
metode komparatif sebagai ganti teknik eksperimen dan laboratoris dalam ilmu
ragawi. Kemudian, lahir pula evolusionisme modern (Childe, White dan Steward).
Hasil pemikiran mereka antara lain: rekaman arkeologis menunjukkan keseluruhan
pola perubahan bersifat evolutif dan progresif; bagan evolusi menjadi
multilinear dari unilinear; adanya konsep dasar evolusi, yaitu perubahan
terarah bukan perubahan siklis; evolusionisem spesifik, lahir pula tipe-tipe
struktural.
Fungionalisme adalah
paham yang menekankan penelitian etnografis, yaitu hubungan antara
institusi-institusi atau struktur-struktur suatu masyarakat sehingga membentuk
suatu sistem yang bulat. Tokohnya adalah Kingsley Davis. Dasar penjelasan
fungsionalisme adalah asumsi (terbuka dan tersirat) bahwa semua sistem budaya
memiliki syarat fungsional, atau memiliki kebutuhan sosial (pandangan Radcliffe
Brown). Robert Merton memperkenalkan 2 konsep fungsi, yaitu fungsi manifes
adalah konsekuensi obyektif yang memberikan sumbangan pada penyesuaian atau
adaptasi sistem yang dikehendaki dan disadari oleh partisipan sistem tersebut;
dan fungsi laten adalah konsekuensi obyektif dari suatu ihwal budaya yang tidak
dikehendaki maupun disadari oleh warga masyarakat. Kesulitan dalam analisis
fungsional adalah mempersoalkan pemeliharaan-diri sistem, ia tidak dapat
menjelaskan perubahan struktural. Merton mengenalkan konsep dysfunction
(disfungsi/fungsi negatif), yaitu suatu institusi negatif budaya dikatakan
fungsional manakala memberikan andil bagi adaptasi atau penyesuaian sistem
tertentu dan disfungsional apabila melemahkan adapatasi. Maka, timbullah
syarat-syarat fungsional, yaitu (a) jaminan adanya hubungan yang memadai dengan
lingkungan dan adanya rekruitmen seksual; (b) difernsiasi peran dan pemberian
peran; (c) komunikasi; (d) perangkat tujuan yang jelas dan disangga bersama;
(e) pengaturan normatif atas sarana-sarana; (f) pengaturan ungkapan afektif;
(g) sosialisasi; (h) kontrol efektif atas bentuk-bentuk perilaku mengacau (dusruptif).
Ekologi budaya tidak
hanya sekedar membicarakan interaksi bentuk-bentuk kehidupan dalam suatu
ekosistem tertentu, melainkan membahas cara manusia (berkat budaya
sebagai sarananya) memanipulasi dan membentuk ekosistem itu sendiri. Ciri-ciri
dalam ekologi budaya adalah memperhatikan adaptasi dalam dua tataran, yaitu
sehubungan dengan cara sistem budaya beradaptasi terhadap lingkungan totalnya,
sebagai konsekuensi adaptasi sistemik itu, maka perhatian terhadap cara
institusi-institusi dalam sesuatu budaya beradaptasi atau saling menyesuaikan
diri. Adaptasi ini berfungsi untuk melihat kemunculan, pemeliharaan dan
transformasi berbagai konfigurasi budaya. Umumnya, ekologi kultural cenderung
menekankan teknologi danekonomi dalam analisis terhadap budaya, karena dari sisi waktu dan sisi
budaya akan terlihat jelas perbedaannya. Menurut Charles O. Frake ekologi
budaya memberikan penekanan penting pada konseptualisasai dari tafsir pribumi
mengenai lingkungan (faktor ideologis dan psikologis). Dua konsep sentral
ekologi budaya dalah ekologi lingkungan dan adaptasi. Pandangan posibilisme
lingkungan (environment possibilism), yaitu pandangan yang memperhatikan
ciri-ciri habitat alami bukan sebagai penyandang peran penentu melainkan peran
pemberi kemungkinan atau pemberi batas. Kaitan lingkungan dengaan dengan budaya
adalah lingkungan → budaya, atau budaya → lingkungan, maka lingkungan dan
budaya adalah dua hal yang timbal balik dan tidak bisa dipisahkan. Adaptasi ini
sebagai proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungannya. Dengan
adanya pergeseran ekologi lama menuju ekologi baru, maka budaya sebagai obyek
kajian hendak diganti dengan populasi organisme sebagai unit dasar analisis.
Dalam pergerseran ini budaya sangat penting sebagai mekanisme adaptasi manusia
agak diturunkan hingga sebagai salah satu segi dalam perilaku manusia.